Sunday, December 21, 2008

Asuhan Keperawatan Kebutuhan Nutrisi

A. Definisi
1. Nutrisi adalah proses pengambilan zat-zat makanan penting (Nancy Nuwer Konstantinides).
2. Jumlah dari seluruh interaksi antara organisme dan makanan yang dikonsumsinya (Cristian dan Gregar 1985).
3. Dengan kata lain nutrisi adalah apa yang manusia makan dan bagaimana tubuh menggunakannya.
4. Masyarakat memperoleh makanan atau nutrien esensial untuk pertumbuhan dan pertahanan dari seluruh jaringan tubuh dan menormalkan fungsi dari semua proses tubuh.
5. Nutrien adalah zat kimia organik dan anorganik yang ditemukan dalam makanan dan diperoleh untuk penggunaan fungsi tubuh.


B. Jenis-jenis Nutrien
1. Karbohidrat.
Karbohidrat adalah komposisi yang terdiri dari elemen karbon, hidrogen dan oksigen. Karbohidrat dibagi atas :
o Karbohidrat sederhana (gula) ; bisa berupa monosakarida (molekul tunggal yang terdiri dari glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Juga bisa berupa disakarida (molekul ganda), contoh sukrosa (glukosa + fruktosa), maltosa (glukosa + glukosa), laktosa (glukosa + galaktosa).
o Karbohidrat kompleks (amilum) adalah polisakarida karena disusun banyak molekul glukosa.
Serat adalah jenis karbohidrat yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, tidak dapat dicerna oleh tubuh dengan sedikit atau tidak menghasilkan kalori tetapi dapat meningkatkan volume feces.
2. Lemak
Lemak merupakan sumber energi yang dipadatkan. Lemak dan minyak terdiri atas gabungan gliserol dengan asam-asam lemak.
Fungsi lemak :
a. sebagai sumber energi ; merupakan sumber energi yang dipadatkan dengan mem berikan 9 kal/gr.
b. Ikut serta membangun jaringan tubuh.
c. Perlindungan.
d. Penyekatan/isolasi, lemak akan mencegah kehilangan panas dari tubuh.
e. Perasaan kenyang, lemak dapat menunda waktu pengosongan lambung dan mencegah timbul rasa lapar kembali segera setelah makan.
f. Vitamin larut dalam lemak.
3. Protein
Protein merupakan konstituen penting pada semua sel, jenis nutrien ini berupa struktur nutrien kompleks yang terdiri dari asam-asam amino. Protein akan dihidrolisis oleh enzim-enzim proteolitik. Untuk melepaskan asam-asam amino yang kemudian akan diserap oleh usus.
Fungsi protein
Protein menggantikan protein yang hilang selama proses metabolisme yang normal dan proses pengausan yang normal.
1. Protein menghasilkan jaringan baru
2. Protein diperlukan dalam pembuatan protein-protein yang baru dengan fungsi khusus dalam tubuh yaitu enzim, hormon dan haemoglobin.
3. Protein sebagai sumber energi.

4. Vitamin
Vitamin adalah bahan organic yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh dan
berfungsi sebagai katalisator proses metabolisme tubuh.
Ada 2 jenis vitamin :
• Vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D, E, K
• Vitamin larut air yaitu vitamin B dan C (tidak disimpan dalam tubuh jadi harus ada didalam diet setiap harinya).
5. Mineral dan Air
Mineral merupakan unsure esensial bagi fungsi normal sebagian enzim, dan sangat penting dalam pengendalian system cairan tubuh. Mineral merupakan konstituen esensial pada jaringan lunak, cairan dan rangka. Rangka mengandung sebagian besar mineral. Tubuh tidak dapat mensintesis sehingga harus disediakan lewat makanan.
Tiga fungsi mineral :
a. Konstituen tulang dan gigi ; contoh : calsium, magnesium, fosfor.
b. Pembentukan garam-garam yang larut dan mengendalikan komposisi cairan tubuh ; contoh Na, Cl (ekstraseluler), K, Mg, P (intraseluler).
c. Bahan dasar enzim dan protein.
Malnutrisi: Kekurangan intake dari zat-zat makanan terutama protein dan karbohidrat. Dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembngan dan kognisi serta dapat memperlambat proses penyembuhan.
Tipe-tipe malnutrisi :
• Defisiensi Nutrien ; contoh : kurang makan buah dan sayur menyebabkan kekurangan vitamin C yang dapat mengakibatkan perdarahan pada gusi.
• Marasmus: kekurangan protein dan kalori sehingga terjadinya pembongkaran lemak tubuh dan otot. Gambaran klinis : atropi otot, menghilangnya lapisan lemak subkutan, kelambatan pertumbuhan, perut buncit, sangat kurus seperti tulang dibungkus kulit.
• Kwashiorkor: kekurangan protein karena diet yang kurang protein atau disebabkan karena protein yang hilang secara fisiologis (misalnya keadaan cidera dan infeksi). Ciri-cirinya : lemah, apatis, hati membesar, BB turun, atropi otot, anemia ringan, perubahan pigmentasi pada kulit dan rambut.

C. EFEK MALNUTRISI TERHADAP SISTEM TUBUH

1. Neurologis/temperatur regulasi Menurunkan metabolisme dan suhu basal
tubuh.
2. Status mental Apatis, depresi, mudah terangsang, penurunan fungsi kognitif, kesulitan
pengambilan keputusan.
3. Sistem imun. Produksi sel darah putih Resiko terhadap penyakit infeksi bila leukosit turun.
4. Muskuloskeletal. Penurunan massa otot, terganggunya kordinasi dan ketangkasan.
5. Kardiovaskuler. Gangguan irama jantung, atropi jantung, pompa jantung turun.
6. Respiratori Atropi otot pernafasan, pneumonia.
7. Gastrointestinal Penurunan massa feces, penurunan enzim pencernaan, penurunan proses absorbsi, mempersingkat waktu transit, meningkatkan pertumbuhan bakteri, diare, mengurangi peristaltik.
8. Sistem urinaria Atropi ginjal, mengubah filtrasi dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sistem hati dan empedu Mengurangi penyimpanan glukosa,
mengurangi produksi glukosa dari asam amino, mengurangi sintesa protein.
D. Perencanaan Makanan
Hidangan makanan umumnya direncanakan untuk memberikan campuran berbagai jenis makanan yang sesuai dengan selera tetapi pengetahuan gizi harus diterjemahkan dalam hal-hal praktis tersebut.
Pedoman diet dapat diwujudkan dalam cara-cara berikut ini :
• Makanlah berbagai ragam makanan. Cara ini akan menjamin bahwa diet anda mengandung semua nutrien dalam jumlah yang memadai.
• Mengurangi konsumsi gula.
• Meningkatkan kandungan serat dan pati dalam diet dengan makanan lebih banyak beras tumbuk, kentang, sayur dan buah-buahan.
• Mengurangi kandungan garam dalam diet dengan mengurangi makanan hasil olahan dan tidak membubuhkan bumbu secara berlebihan.
• Mengurangi konsumsi lemak dengan mengurangi makan mentega, menggantikan cara menggoreng dengan membakar atau merebus.
Kebutuhan Nutrisi Berdasarkan Tingkat perkembangan Makanan Bayi ASI merupakan makanan ideal bagi bayi berusia 1-2 tahun hingga usia 4 bulan bayi hanya perlu ASI sebagai makanan satu-satunya dan setelah itu ASI diberi bersama¬sama makanan mereka. 4-12 bulan mulai dikenalkan dengan makanan padat. 8 bulan ke atas mulai bisa memakan makanan orang dewasa.

Konsep Teori Keperawatan Henderson

A. DEFINISI

Keperawatan menurut Henderson adalah suatu fungsi yang unik dari Keperawatan untuk menolong klien yang sakit atau sehat dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kemampuan, kekuatan, pengetahuan dan kemandirian pasien secara rasional, sehingga pasien sembuh atau meninggal dengan tenang. Definisi ini merupakan awal terpisahnya ilmu keperawatan dan medik dasar.

Dari referensi tersebut asumsi dari individu yaitu :
1. Individu perlu mempertahankan keseimbangan fisiologis dan emosional
2. Individu memerlukan bantuan untuk memperoleh kesehatan dan kemandirian atau meninggal dengan damai
3. Individu membutuhkan kekuatan yang diperlukan, keinginan atau pengetahuan untuk mencapai atau mempertahankan kesehatan
Henderson berpendapat peranan perawat membantu individu sehat sakit dengan suatu cara penambah atau pelengkap (supplementary atau emplementary). Perawat sebagai partner penolong pasien dan kalau perlu sebagai pengganti pasien. Focus perawat adalah menolong apsien dan keluarga untuk memperoleh kebebasan dalam makan, bernafas normal. Tempat memenuhi kebutuhan dasar: bergerak dengan mempertahankan, eliminasi sampah tubuh, minum adequatemerubah dengan yang cocok. Tidur dan istirahat, posisi yang diinginkan, mempertahankan temperature tubuh dalam rentan normal dengan mengatur menjaga tubuh, pakaian dan mendidik lingkungan.

B. HOLISM

Model perawat yang dijelaskan oleh Virginia handerson adalah model konsep aktifitas sehari-hari dengan mengambarkan gambaran fungsi utama perawat yaitu menolong orang yang sakit/sehat dalam usaha menjaga kesehatan atau menghadapi kematian dengan tenang.
Teori Henderson berfokus pada individu berdasarkan pandangan, yaitu jasmani(body) dan rohani (mind) yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Henderson manusia adalah unik dan tidak ada dua manusia yang sama. Kebutuhan individu tercermin dalam 14 komponen asuhan Keperawatan dasar (basic nursing care):
1. bernafas dengan normal,
2. nutrisi,
3. eliminasi,
4. gerak dan keseimbangan tubuh,
5. istirahat tidur,
6. berpakain,
7. mempertahankan sirkulasi,
8. personal hygiene,
9. rasa aman dan nyaman,
10. berkomunikasi,
11. kebutuhan spiritual,
12. kebutuhan bekerja,
13. kebutuhan bekerja,
14. kebutuhan bermain dan rekreasi dan kebutuhan belajar.
Pemahaman konsep teori Keperawatan Henderson didasari kepada keyakinan dan nilai yang dimilikinya, diantaranya:
• Manusia akan mengalami perkembangan mulai dari pertumbuhan dan perkembangan dalam rentan kehidupan.
• Dalam melaksanakn ADL individu akan mengalami ketergantungan sejak lahir hingga menjadi dewasa yang di pengaruhi oleh pola asuh,lingkungan dan kesehatan.
• Dalam melaksanakan ADL individu di kelompokkan menjadi 3: terhambat dalam melakukan aktifitas,belum dapat melakukan aktifitas dan tidak dapat melakukan aktifitas.

C. CARING

Caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang lain bertumbuh dan mengaktualisasikan diri.
Tujuan asumsi mendasari konsep caring
• Caring hanya hanya efektif bila diperlihatkan dan dipraktikan secara interpersonal.
• Caring terdiri darikaratif yang berasal dari kepuasan dalam membantu memenuhi kebutuha manusia atau klien.
• Caring yang efektif dapat meningkatkan kesehatan individu dan keluarga.
• Caring merupakan respon yang diterima oleh seseorang yang tidak hanya saat itu juga namun juga mempengruhi akan seperti apakah seseorang tersebut nantinya.
• Lingkungan yang penuh caring sangat potensial untuk mendukung perkembangan seseorang dan mempengaruhi seseorang dalam memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
• Caring merupakan inti dari Keperawatan.
• Caring memadukan antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai prilaku manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatn dalam membantu klien yang sakit.

D. HUMANISM

Orang humanis yang meyakini kebaikan nilai-nilai manusia sebagai suatu komitmen dalam bekerja untuk kemanusiaan. Conroh prilaku yang manusiawi adalah empaty,simpaty,terharu dan menghargai kehidupan. Dalam Keperawatan humanism merupakan suatu sikap dan pendekatan yang memperlakukan pasien sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan bio, psiko, sosio, cultural. Pearawat yang mengunakan pendekatan humanism dalam prakteknya memperhitungkan semua yang di ketahuinya tentang pasien yang meliputi pikiran,perasaan,nilai-nilai,pengalamn,kesukaan,prilaku dan bahasa tubuh.


Thursday, December 4, 2008

Teori Orem

Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri).

Orang dewasa dapat merawat diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia dan orang sakit membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas self care mereka. Orem mengklasifikasikan dalam 3 kebutuhan, yaitu:

1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal): kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh manusia selama siklus kehidupannya seperti kebutuhan fisiologis dan psikososial termasuk kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, aktivitas, istirahat, sosial, dan pencegahan bahaya. Hal tersebut dibutuhkan manusia untuk perkembangan dan pertumbuhan, penyesuaian terhadap lingkungan, dan lainnya yang berguna bagi kelangsungan hidupnya.

2. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan): kebutuhan yang berhubungan dengan pertumbuhan manusia dan proses perkembangannya, kondisi, peristiwa yang terjadi selama variasi tahap dalam siklus kehidupan (misal, bayi prematur dan kehamilan) dan kejadian yang dapat berpengaruh buruk terhadap perkembangan. Hal ini berguna untuk meningkatkan proses perkembangan sepanjang siklus hidup.

3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan): kebutuhan yang berhubungan dengan genetik atau keturunan,kerusakan struktur manusia, kerusakan atau penyimpanngan cara, struktur norma, penyimpangan fungsi atau peran dengan pengaruhnya, diagnosa medis dan penatalaksanaan terukur beserta pengaruhnya, dan integritas yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan self care.

Tiga jenis kebutuhan tersebut didasarkan oleh beberapa asumsi, yaitu:

  1. Human being (Kehidupan manusia): oleh alam, memiliki kebutuhan umum akan pemenuhan beberapa zat (udara, air, dan makanan) dan untuk mengelola kondisi kehidupan yang menyokong proses hidup, pembentukan dan pemeliharaan integritas structural, serta pemeliharaan dan peningkatan integritas fungsional.
  2. Perkembangan manusia: dari kehidupan di dalam rahim hingga pematangan ke dewasaan memerlukan pembentukan dan pemeliharaan kondisi yang meningkatkan proses pertumbuhan dan perkembangan di setiap periode dalam daur hidup.
  3. Kerusakan genetik maupun perkembangan dan penyimpangan dari struktur normal dan integritas fungsional serta kesehatan menimbulkan beberapa persyaratan/permintaan untuk pencegahan, tindakan pengaturan untuk mengontrol perluasan dan mengurangi dampaknya.

Asuhan keperawatan mandiri dilakukan dengan memperhatikan tingkat ketergantuangan atau kebutuhan klien dan kemampuan klien. Oleh karena itu ada 3 tingkatan dalam asuhan keperawatan mandiri, yaitu:

  1. Perawat memberi keperawatan total ketika pertama kali asuhan keperawatan dilakukan karena tingkat ketergantungan klien yang tinggi (sistem pengganti keseluruhan).
  2. Perawat dan pasien saling berkolaborasi dalam tindakan keperawatan (sistem pengganti sebagian).
  3. Pasien merawat diri sendiri dengan bimbingan perawat (sistem dukungan/pendidikan).

APLIKASI TEORI OREM

Klien dewasa dengan Diabetes Melitus menurut teori self-care Orem dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk merawat dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan mencapai kesejahteraan.

Klien dewasa dengan Diabetes Mellitus dapat mencapai sejahtera / kesehatan yang optimal dengan mengetahui perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri. Oleh karena itu, perawat menurut teori self-care berperan sebagai pendukung/pendidik bagi klien dewasa dengan Diabetes Mellitus terkontrol untuk tetap mempertahankan kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera.

Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor internal dan eksternal, factor internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan, dan pekerjaan. Adapun factor luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakat dimana klien tinggal.

Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat kontinum atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai kondisi yang sejahtera, klien membutuhkan 3 kebutuhan selfcare berdasarkan teori Orem yaitu:

1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal), kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh klien selama siklus hidupnya dalam mempertahankan kondisi yang seimbang/homeostasis yang meliputi kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, istirahat, dan interaksi sosial serta menghadapi resiko yang mengancam kehidupan. Pada klien DM, kebutuhan tersebut mengalami perubahan yang dapat diminimalkan dengan melakukan selfcare antara lain melakukan latihan/olahraga, diet yang sesuai, dan pemantauan kadar glukosa darah.

2. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan), klien dengan DM mengalami perubahan fungsi perkembangan yang berkaitan dengan fungsi perannya. Perubahan fisik pada klien dengan DM antara lain, menimbulkan peningkatan dalam berkemih, rasa haus, selera makan, keletihan, kelemahan, luka pada kulit yang lama penyembuhannya, infeksi vagina, atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya tinggi).

3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan), kebutuhan yang berkaitan dengan adanya penyimpangan kesehatan seperti adanya sindrom hiperglikemik yang dapat menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), hipotensi, perubahan sensori, kejang-kejang, takikardi, dan hemiparesis. Pada klien dengan DM terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang dimiliki. Klien DM akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi keharmonisan pasangan (missal infeksi vagina dan bagian tubuh lainnya).

Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh klien dengan DM menurut Orem disebut dengan self-care deficit. Menurut Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifikasikannya sesuai dengan klasifikasi kemampuan klien yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Setelah mengkaji dan mendapatkan informasi yang lengkap barulah perawat mulai bekerja untuk mengembalikan kemampuan self-care klien secara optimal sesuai dengan kondisi aktual klien yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus yang diderita oleh klien.

Sumber : Teori Orem. www. ilmukeperawatan.wordpress.com

Proses Keperawatan

Proses keperawatan secara umum diartikan sebagai pendekatan dalam pemecahan masalah yang sistematis untuk memberikan asuhan keperawatan terhadap setiap orang.

Adapun karakteristik dari proses keperawatan antara lain:

  • Merupakan kerangka berpikirdalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien, keluarga, dan komunitas.
  • Bersifat teratur dan sistematis.
  • Bersifat saling bergantung satu dengan yang lain
  • Memberikan asuhan keperawatan secara individual
  • klien menjadi pusat dan menghargai kekuatan klien
  • Dapat digunakan dalam keadaan apapun

Dalam proses keperawatan terdapat empat tahapan yaitu:

1. Pengkajian

Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan subjektif dari klien. Adapun data yang terkumpul mencakup klien, keluarga, masyarakat, lingkungan, atau kebudayaan. (Mc Farland & mc Farlane, 1997)

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:

  1. Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, sosialkultural, dan spiritual yagn bisa mempengaruhi status kesehatannya.
  2. Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu, saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain. (Gordon, 1987;1994)
  3. Memahami bahwa klien adalah sumber informasi primer.
  4. Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang berperan penting dan catatan kesehatan klien.

Metode pengumpulan data meliputi :

  • Melakukan interview/wawancara.
  • Riwayat kesehatan/keperawatan
  • Pemeriksaan fisik
  • Mengumpulkan data penunjang hasil laboratorium dan diagnostik lain serta catatan kesehatan (rekam medik).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.

The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 1992) mendefinisikan diagnosa keperawatan semacam keputusan klinik yang mencakup klien, keluarga, dan respon komunitas terhadap sesuatu yan berpotensi sebagai masalah kesehatan dalam proses kehidupan.

  • Dalam membuat diagnosa keperawatan dibutuhkan ketrampilan klinik yang baik, mencakup proses diagnosa keperawatan dan perumusan dalam pembuatan pernyataan keperawatan.
  • Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok interpretasi dan menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu sendiri. Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat yaitu mempunyai pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu yang aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan.

3. Intervensi

Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Intervensi dilakukan untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan.

Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas. Pengkualifikasian seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri yaitu dilakukan oleh perawat dan kolaboratif yaitu yang dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.

4. Evaluasi

Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal. (Alfaro-LeFevre, 1994)

Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima.Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.

Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi keperawatan.

Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan bersama antara perawat dank lien (Yura & Walsh, 1988)

Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri. Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana asuhan keperawatan., termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan, respon klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan konsep teladan dari keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Chase, S. (1994). Clinical Judgement by critical care nurse: An ethnographic study. In R. M. Carroll-Johnson 7 Pacquette (Eds), Classification of nursing diagnosis: Proceedingof the ninth conference, North American Nursing Diagnosis Association (pp. 367-368). Philadelphia: J.B. Lippincott.

Lunney; M. (1992). Divergent productie thinking factors and accuracy of nursing diagnoses. Research in Nursing and Health, 15(4), 303-312.

Sumber http://ilmukeperawatan.wordpress.com/category/keprofesian/

Reumatik

Penyakit reumatik merupakan suatu istilah terhadap sekelompok penyakit dengan manifestasi klinis berupa nyeri menahun pada sistem muskuloskeletal, kekakuan sendi serta pembengkakan jaringan sekitar sendi dan tendo. Meskipun kelainan terutama terjadi pada sendi tetapi penyakit reumatik dapat pula mengenai jaringan ekstra-artikuler.

Artritis Reumatoid (Poli-artritis Reumatoid)

Definisi

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi serta simetris.

Insidens

Artritis reumatoid merupakan inflamasi kronik yang paling sering ditemukan pada sendi, insidensnya sekitar 3% dari penduduk menderita kelainan ini dan terutama ditemukan pada umur 20-30 tahun, lebih sering pada wanita daripada pria dengan perbandingan 3:1. Penyakit ini menyerang sendi-sendi kecil pada tangan, pergelangan kaki dan sendi-sendi besar pada lutut, panggul serta pergelangan tangan.

Etiologi

Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab artritis reumatoid, yaitu :

  • 1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus
  • 2. Endokrin
  • 3. Autoimun
  • 4. Metabolik
  • 5. Faktor genetik serta faktor pemicu lainnya.

Pada saat ini, artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.

Kelainan pada sinovial

Kelainan artritis reumatoid dimulai pada sinovial berupa sinovitis. Pada tahap awal terjadi hiperemi dan pembengkakan pada sel-sel yang meliputi sinovia disertai dengan infiltrasi limfosit dan sel-sel plasma. Selanjutnya terjadi pembentukan vilus yang berkembangan ke arah ruang sendi dan terjadi nekrosis dan kerusakan dalam ruang sendi. Apda pemeriksaan mikroskopik di temukan daerah nekrosis fibrinoid yang diliputi oleh jaringan fibroblas membentuk garis radial ke arah bagian yang nekrosis.

KELAINAN PADA TENDO

Pada tendo terjadi tenosinovitis disertai dengan invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendo secara parsial atau total.

KELAINAN PADA TULANG

Kelainan yang terjadi pada daerah artikuler dibagi dalam tiga stadium, yaitu :

  1. Stadium I (stadium sinovitis) - Pada tahap awal terjadi kongesti vaskuler, proliferasi sinovial disertai infiltrasi lapisan sub-sinovial oleh sel-sel polimorf limfosit dan sel plasma. Selanjutnya terjadi penebalan struktur kapsul sendi disertai pembentukan vili pada sinovium dan evusi dan evusi pada sendi/pembungkus tendo.
  2. Stadium II (stadium destruksi) - Pada stadium ini inflamasi berlanjut menjadi kronik serta terjadi destruksi sendi dan tendo. Kerusakan pada tulang rawan sendi disebabkan oleh enzim proteolitik dan oleh jaringan vaskuler pda lipatan sinovia serta oleh jaringan granulasi yang terbentuk pada permukaan sendi (panus). Erosi tulang terjadi pada bagian tepi akibat invasi jaringan granulasi dan akibat resorpsi osteoklas. Pada tendo terjadi tenosinovitis disertai invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendo baik parial maupun total.
  3. Stadium III (stadium deformitas) - Pada stadium ini kombinasi antara destruksi sendi, ketegangan selaput sendi dan ruptur tendo akan menyebabkan instabilitas dan deformitas sendi. Kelainan yang mungkin ditemukan pada stadium ini adalah ankilosis jaringan yang selanjutnya dapat menjadi ankilosis tulang. Inflamasi yang terjadi mungkin sudah berkurang dan kelainan yang timbul terutama oleh karena gangguan mekanik dan fungsional pada sendi.

KELAINAN PADA JARINGAN EKSTRA-SRTIKULER

Perubahan patologis yang dapat terjadi pda jaringan ekstra-artikuler adalah :

  • OTOT- Pada otot terjadi miopati yang pada elektromiografi menunjukkan adanya degenerasi serabut otot. Degenerasi ini berhubungan dengan fragmentasi serabut otot serta gangguan retikulum sarkoplasma dan partikel glikogen. Selain itu umumnya pada artritis reumatoid terjadi pengecilan/atrofi otot yang disebabkan oleh kurangnya penggunaan otot (disuse atrophy) akibat inflamasi sendi yang ada.
  • NODUL SUBKUTAN - Nodul subkutan terdiri atas unit jaringan yang nekrotik di bagian sentral dan dikelilingi oleh lapisan sle mononuklear yang tersusun secara radier dengan jaringan ikat yang padat dan diinfiltrasi oleh sel-sel bulat. Nodul subkutan hanya ditemukan pada 25% dari seluruh penderita artritis reumatoid.
  • PEMBULUH DARAH PERIFER - Pada pembuluh darah perifer terjadi proliferasi tunika intima, lesi pada pembuluh darah arteriol dan venosa. Terjadi perubahan pda pembuluh darah sedang dan kecil berupa artritis nekrotik. Akibatnya terjadi gangguan respon arteriol terhadap temperatur.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis artritis reumatoid sangat bervariasi tergantung dari onset, distribusi, stadium dan progresivitas penyakit. Gejala awal terjadi pada beberapa sendi sehingga disebut poli-artritis reumatoid. Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan tangan, sendi lutut, sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi panggul dan biasanya bersifat bilateral/simetris. Tetapi kadang-kadang artritis reumatoid dapat terjadi hanya pada satu sendi dan disebut artritis reumatoid monoartikuler.

Stadium awal biasanya ditandai dengan gangguan keadaan umum berupa malaise, penurunan berat badan, rasa capek pda sendi metakarpofalangeal.

Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tenosinovitis pada daerah ekstensor pergelangan tangan dan fleksor jari-jari. Pda sendi besar (misalnya sendi lutut) gejala peradangan lokal berupa pembengkakan, nyeri serta tanda-tanda efusi sendi. Kurang lebih 25% dari penderita akan mengalami masa remisi, tetapi serangan akan timbul kembali seperti semula.

Pada stadium lanjut terjadi kerusakan sendi dan deformitas yang terjadi bersifat permanen, selanjutnya timbul ketidakstabilan sendi akibat ruptur tendo/ligamen yang menyebabkan deformitas reumatoid yang khas berupa deviasi ulnar jari-jari, deviasi radial/volar pergelangan tangan serta valgus lutut dan kaki.

Gambaran ekstra-artikuler yang khas adalah ditemukannya nodul subkutan yang merupakan tanda patognomonik dan ditemukan pada 25% dari penderita artritis reumatoid. Gejala-gejala lain yang dapat dijumpai adalah atrofi otot, limfadenopati, skleritis, sindroma jepitan saraf, atrofi dan ulserasi kulit.

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan :

  • 1. Peninggian laju endap darah.
  • 2. Anemia normositik hipokrom
  • 3. Reaksi C protein positif dan mukoprotein yang meninggi.
  • 4. Reumatoid faktor positif 80% (uji Rose-Waaler) dan antinuklear faktor positif 80%, tetapi kedua uji ini tidak spesifik.
  • 5. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.

Pemeriksaan radiologis

  • Foto polos - Pada tahap awal penyakti, foto rontgen tidak menunjukkan yang mencolok. Pada tahap selanjutnya terlihat rarefaksi korteks sendi yang difus dan disertai trabekulasi tulang, obliterasi ruang sendi yang memberikan perubahan-perubahan degeneratif berupa densitas, iregularitas, permukaan sendi serta spurring marginal. Selanjutnya bila terjadi destruksi tulang rawan, maka akan terlihat penyempitan ruang sendi dengan erosi pada beberapa tempat.
  • Pemeriksaan radio-isotop - Pada pemeriksaan radio-isotop, konsentrasi zat radio-isotop terlihat meninggi pada daerah sendi mengalami kelainan.

Diagnosis

Kriteria diagnosis artritis reumatoid adalah terdapat poli-artritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen.

Kriteria diagnosis artritis reumatoid menurut American Reumatism Association (ARA) adalah :

  1. Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (Morning stiffness).
  2. Nyeri pada pergerakkan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi.
  3. Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
  4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
  5. Pembengkakan sendi yang bersifat simetris.
  6. Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor.
  7. Gambaran foto rontgen yang khas pada artritis reumatoid.
  8. Uji aglutinasi faktor reumatoid.
  9. Pengendapan cairan musin yang jelek.
  10. Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia.
  11. Gambaran histologik yang khas pada nodul.

Berdasarkan kriteria ini maka disebut :

  • Klasik, bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
  • Definitif, bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
  • Kemungkinan reumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 4 minggu .

Diagnosis banding

Artritis reumatoid harus dapat dibedakan dengan kelainan-kelainan yang menyebabkan poliartritis yaitu :

  • Ankilosing spondilitis.
  • Penyakit Reiter.
  • Artritis gout.
  • Demam reumatik.
  • Osteoartritis.

Pengobatan

Oleh karena kausa pasti artritis reumatoid tidak diketahui maka tidak ada pengobatan kausatif yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Hal ini harus benar-benar dijelaskan kepda penderita sehingga ia tahu bahwa pengobatan yang diberikan bertujuan mengurangi keluhan/gejala, memperlambat progresivitas penyakit dan yang lebih penting mencegah terjadinya deformitas sehingga penderita tidak harus mengalami kecacatan.

Pada prinsipnya pengobatan yang diberikan bertujuan untuk :

  • Membantu penderita mengetahui/mengenal penyakit artritis reumatoid yang dideritanya.
  • Memberikan dukungan psikologis.
  • Meringankan rasa nyeri sehingga aktivitas penderita tidak terganggu.
  • Menekan terjadinya reaksi inflamasi.
  • Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya deformitas.
  • Mengoreksi yang telah ada.
  • Membantu meningkatkan fungsi anggota gerak yang terganggu.
  • Rehabilitasi penderita.

Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR

OAINS umumnya diberikan pada pasien AR sejak masa dini penyakit ini dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.

Keterbatasan penggunaan OAINS adalah toksisitasnya. Toksisitas OAINS yang paling sering dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinal.

Penggunaan Kortikosteroid pada Pengobatan AR

Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif, akan tetapi pada AR obat ini tidak terbukti memiliki khasiat untuk mengubah riwayat alamiah penyakit. Karena efek sampingnya yang sangat berat. Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang umumnya hanya digunakan untuk pengobatan AR dengan komplikasi yang berat dan mengancam jiwa seperti vaskulitis.

Rehabilitasi Pasien AR

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan cara :

  • Mengurangi rasa nyeri.
  • Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi.
  • Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot. Mencegah terjadinya deformitas.
  • Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri.
  • Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.

Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.

REFERENSI:

http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/05/10/jaundice/#more-33

Jaundice

Pengertian

Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.

II. Etiologi

Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.

Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.

3. Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 ยตmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis. Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam 3

2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3

Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.

Faktor risiko mayor 5

  1. TSB atau TcB di high-risk zone
  2. Jaundice dalam 24 jam pertama
  3. Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
  4. Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
  5. Usia gestasi 35-36 minggu
  6. Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
  7. Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
  8. Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
  9. Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor 5

  1. TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
  2. Usia gestasi 37-38 minggu
  3. Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
  4. Riwayat jaundice pada saudara sekandung
  5. Bayi besar dari ibu yang diabetik
  6. Usia ibu ≥ 25 tahun
  7. Bayi laki-laki

Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.

Pencegahan

Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :

1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).

2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).

3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.

4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi

Daftar Pustaka

[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269

[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007

[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007

[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007

[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213

Sumber asli materi : http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/05/10/jaundice/#more-33

Ilmu Keperawatan

Blog Saling berbagi ilmu keperawatan